KLIPING BERITA

KAMIS, 18 JULI 2013

Hakim Batalkan Peralihan Status Pekerja SCTV

" SCTV dihukum mempekerjakan kembali pekerjanya yang dipecat karena menolak dialihkan menjadi pekerja outsourcing."

Perkara perselisihan PHK yang diajukan manajemen PT Surya Citra Televisi (SCTV) kandas di PHI Jakarta. Pasalnya, majelis menolak seluruh gugatan PHK yang diajukan manajemen selaku penggugat terhadap 40 pekerjanya yangmenolak di-outsourcing. Sekalipun dalam persidangan, penggugat menawarkan kompensasi berupa dua kali pesangon, majelis melihat Agus Suhanda dkk menolaknya dan menginginkan untuk tetap bekerja.
Anggota majelishakim, Saut C Manalusaat membacakan pertimbangan putusanmengatakan penggugat beralasan pengalihan ke perusahan outsourcing dilakukan agar perusahaan fokus pada bisnis inti. Yaitu bidang pertelevisian. Sementara, penggugat menilai Agus Suhanda dkk mengerjakan pekerjaan penunjangseperti sopir dan petugas keamanan. Oleh karenanya, sebagaimana berkas yang diajukan di persidangan, Saut mengatakan penggugat mengalihkan Agus Suhanda dkk ke sebuah perusahaan outsourcing bernama PT ISS Indonesia.
Ketika melaksanakan pengalihan itu penggugat merasa sudah sesuai dengan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto Permenakertrans Outsourcing. Sebelum menjalankan pengalihan itu, Saut menyebut penggugat mengaku sudah melakukan sosialisasi kepada para pekerja. Penggugat juga memberi beberapa tawaran kepada pekerja yang hendak dialihkan. Namun, mengingat Agus Suhanda dkk tetap menolak dialihkan, penggugat melakukan PHK.
Saut menjelaskan tergugat mendalilkan Agus Suhanda dkk merupakan pekerja tetap karena masa kerja mereka berkisar 9-20 tahun. Oleh karenanya, tergugat beralasan pengalihan itu tidak punya dasar hukum dan bertentangan dengan pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Selain itu para tergugat berpendirian mengacu pasal 170 UU Ketenagakerjaan, penggugat wajib mempekerjakan kembali Agus Suhanda dkk.
Atas perkara itu, Saut melanjutkan, majelis hakim berpendirian bahwa pokok perkara bermuara pada pertanyaan. Yaitu apakah penggugat memiliki alasan yang cukup dan valid dalam melakukan PHK sebagaimana dimaksud pasal 152 UU Ketenagakerjaan? Mengacu ketentuan pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan junto pasal 17 Permenakertrans Outsourcing, pengusaha atau penggugat diberikan hak oleh UU untuk mengalihkan sebagaian pekerjaannya. Yakni menyerahkan pekerjaan penunjang kepada perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerjaan.
Tak ketinggalan dalam pendiriannya, majelis mempertanyakan apabila pengalihan itu dilakukan kepada pekerjaan yang menjadi bagian dari organisasi perusahaan apakah serta merta mengakibatkan PHK kepada pekerjanya? Saut juga menjelaskan dalam putusan, majelis hakim mengakui PHK yang dilakukan penggugat hingga ke PHI telah memenuhi ketentuan yang diatur UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI. Namun, lagi-lagi majelis menekankan apakah pengalihan itu secara serta merta mengakibatkan PHK.
“Sekalipun dalam persidangan para tergugat tidak mengajukan tuntutan pembatalan pengalihan pekerjaan (pembatalan outsourcing) yang dilakukan penggugat, majelis berpendirian pengalihan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain tidak serta merta mengakibatkan PHK terhadap pekerja,” kata Saut membacakan putusan di ruang sidang I PHI Jakarta, Rabu (18/7).
Masih membacakan putusan, majelis berpendirian setiap PHK harus memiliki alasan yang valid sebagaimana pasal 152 UU Ketenagakerjaan. Tapi selama persidangan, Saut mengatakan penggugat tidak menjelaskan hal itu lebih dalam sehingga pengalihan itu seolah langsung disertai dengan PHK.
Dari fakta yang diperoleh dalam persidangan, Saut mengatakan pengalihan itu dilakukan penggugat kepada PT ISS setelah didahului presentasi dari PT ISS kepada penggugat. Kemudian, meskipun penggugat telah mengalihkan pekerjaan itu kepada PT ISS, namun pekerjaan tersebut masih ada dan masih berlangsung di tempat yang sama. Serta masih dikerjakan oleh para tergugat yang telah dialihkan status kerjanya kepada PT ISS. Begitu pula dengan peralatan kerja yang digunakan, majelis melihat masih menggunakan peralatan yang dimiliki oleh penggugat.
Peralatan itu menurut majelis sama seperti peralatan yang digunakan para pekerja sebelum dialihkan ke PT ISS. Berdasarkan fakta-fakta itu majelis menilai penggugat tidak melakukan sosialisasi yang cukup kepada para pekerjanya, begitu pula dengan dampak ketika mereka dialihkan. “Setelah pengalihan dilakukan ternyata pekerjaan tersebut masih terintegrasi dalam organisasi perusahaan penggugat. Dan peralatan kerjanya terutama untuk supir adalah peralatan utama yang dimiliki penggugat, bukan PT ISS,” urainya.
Atas dasar itu, terkait pengalihan para pekerja ke PT ISS, majelis berpedoman pada semangat pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yaitu pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah harus berupaya jangan terjadi PHK. Sekalipun PHK harus diputuskan, apalagi sifatnya massal, majelis mengacu Surat Edaran Menakertrans No.907 tahun 2004 tentang Pencegahan PHK Massal. PHK itu menurut majelis juga harus mempertimbangkan masa depan pekerja.
Meskipun penggugat menawarkan kepada para pekerja yang dialihkan untuk bekerja di PT ISS, tapi mengacu perjanjian penyediaan jasa pekerja antara PT ISS dan PT SCTV majelis menilai pekerjaan itu sifatnya sementara waktu. Selain adanya kekhawatiran jaminan keberlangsungan kerja, majelis melihat ada kecemasan jaminan sosial yang diperoleh para pekerja akan ikut berkurang pula. Oleh karena itu sebelum melakukan PHK, majelis mengingatkan penggugat harus memperhatikan berbagai hal tersebut.
Majelis juga menegaskan, sebelum memutus hubungan pekerja, harus diperhatikan berat atau ringan dampaknya bagi pekerja dan pengusaha. Pasalnya, dalam banyak kasus tindakan pengusaha yang tetap mempekerjakan para pekerjanya, berdampak kecil bagi lancarnya operasional perusahaan. Sedangkan PHK terhadap para pekerja, tak jarang mengakibatkan ketidakpastian pendapatan dan berujung pada kemiskinan bagi pekerja beserta keluarganya.
Tanpa mencegah arah bisnis penggugat, majelis berpendapat langkah-langkah untuk mencegah PHK yang dilakukan penggugat tidak berlandaskan alasan hukum yang memadai. “Karena alasan PHK terhadap para pekerja belum memiliki alasan yang valid, maka majelis hakim berpendirian menolak tuntutan penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan PHK terhadap tergugat tidak pernah putus dan tetap berlangsung,” tutur Saut.
“Menghukum tergugat rekonvensi untuk segera mempekerjakan penggugat rekonvensi pada pekerjaan dan jabatan semula serta memulihkan hak-hak yang selama ini diperoleh para penggugat rekonvensi,” tuturhakim ketuaAmin Ismanto membacakan amar putusan.
Dissenting Opinion
Putusan perkara ini diwarnai dengan perbedaan pendapat alias dissenting opinion. Anggota majelis hakim Sinufa Zebua berpendapat bahwa seharusnya pengadilan memutuskan hubungan kerja antara penggugat dan tergugat dengan alasan bahwa hubungan keduanya sudah tak harmonis lagi.
Zebua berani berpendapat seperti itu karena berdasarkan fakta persidangan, terlihat rasa saling curiga antara penggugat dan tergugat. Ia khawatir hubungan kerja tak akan efektif lagi ketika para tergugat dipekerjakan kembali.
“Hubungan antara penggugat dengan para tergugat harus diputus berdasarkan putusan PHI dengan memberikan uang pesangon/kompensasi sesuai UU yang berlaku,” tegas Zinufa membacakan dissenting opinion.
Usai mengikuti sidang itu, salah satu kuasa hukum tergugat dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Ahmad Fauzi, mengatakan pekerja cukup puas dengan putusan itu. Pasalnya, sebagian tuntutan yaitu mempekerjakan kembali, dikabulkan majelis. Untuk langkah selanjutnya, Fauzi mengaku akan melihat dalam waktu 14 hari ke depan apakah pihak manajemen SCTV akan melakukan kasasi atau tidak. Jika dalam jangka waktu itu kasasi tidak kunjung diajukan maka pekerja mengajukan eksekusi.
“Tapi yang pasti kami senang atas putusan majelis hakim. Menurut kami putusan itu benar, bahwa gugatan PHK yang diajukan penggugat tidak punya dasar,” tukas Fauzi.
Soal adanya perbedaan pendapat dari salah satu anggota majelis, Fauzi berpendapat hal itu tidak menjadi amar putusan. Sehingga tidak merisaukan bagi para pekerja karena putusannya, mereka dipekerjakan kembali. Bagi Fauzi, perbedaan pendapat itu sebagai salah satu kebebasan yang dimiliki hakim dalam bermusyawarah untuk memutus sebuah perkara. Tak ketinggalan, Fauzi berharap putusan itu berdampak positif terhadap pekerja lain yang statusnya outsourcing. “Apalagi pasca diterbitkan Permenakertrans Outsourcing, tidak sedikit pekerja outsourcing yang di-PHK,” urainya.
Sedangkan salah satu kuasa hukum penggugat, Elizabeth Ritonga, menolak berkomentar ketika ditanya pendapatnya terkait putusan itu. dikutip dari HUKUMONLINE 

SENIN, 11 MARET 2013
Masalah Ketenagakerjaan di BUMN Harus Cepat Diselesaikan

"Menteri BUMN didesak menerbitkan peraturan internal yang menjamin pemenuhan hak pekerja sesuai peraturan perundang-undangan yang ada."
Anggota Komisi IX dari Fraksi Golkar, Poempida Hidayatullah, mengatakan penting bagi DPR untuk terus mendesak Menteri BUMN, Dahlan Iskan, untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan yang menyelimuti perusahaan BUMN. Pasalnya, masalah itu sudah tergolong akut dan perlu segera diselesaikan. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus ketenagakerjaan di perusahaan BUMN yang diadukan serikat pekerja ke DPR.
Absennya Dahlan setelah tiga kali diundang secara resmi oleh DPR bagi Poempida menunjukan tak adanya itikad baik dari Menteri BUMN itu untuk menyelesaikan kasus ketenagakerjaan di BUMN. Meski demikian, DPR akan memaksimalkan kewenangannya untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintahan, khususnya Menteri BUMN, diantaranya melakukan pemanggilan paksa dan menggunakan hak interpelasi.
Poempida menilai, mangkirnya Dahlan berdampak buruk bagi penegakan hukum, baik itu ketatanegaraan maupun ketenagakerjaan. Misalnya, dalam hukum ketatanegaraan, di mana posisi DPR dan Presiden menurut Poempida adalah setara. Mengacu hal itu, ketika DPR memanggil bawahan Presiden yaitu Menteri BUMN, yang bersangkutan harusnya hadir. Oleh karenanya Poempida cemas sikap buruk Dahlan itu akan ditiru oleh jajaran pejabat di kementerian BUMN.
Dampak buruk lainnya, Poempida melanjutkan, perusahaan swasta akan mencontoh sistem ketenagakerjaan di perusahaan BUMN yang dirasa banyak melanggar aturan. Atas dasar itu Poempida menegaskan agar masalah ketenagakerjaan yang ada di perusahaan BUMN segera diselesaikan.
Untuk mewujudkan hal itu dia melihat Menteri BUMN punya peran yang besar. Pasalnya, Kementerian BUMN sebagai wakil negara yang punya saham terbesar di sejumlah perusahaan BUMN.
Melihat posisi itu, Poempida menilai Menteri BUMN harus mampu menerbitkan aturan internal yang ditujukan kepada perusahaan BUMN dalam rangka menegakkan hukum ketenagakerjaan. Misalnya, ketika berselisih dengan pekerja di pengadilan, maka jajaran manajemen di perusahaan BUMN tak boleh menggunakan dana di BUMN untuk operasional menjalani proses peradilan itu. 
Pasalnya, di persidangan manajemen akan melawan pekerja atau serikat pekerja dengan posisi yang jauh lebih unggul karena dapat mengakses uang perusahaan BUMN. Sementara, pekerja harus mengeluarkan kocek sendiri atau urunan untuk menjalani proses persidangan.
Melihat ketimpangan itu, Poempida berjanji akan merekomendasikan agar kebijakan itu diterbitkan oleh Menteri BUMN. “Usulan itu akan disampaikan paling lambat Kamis (14/3) depan ketika Menteri BUMN hadir dalam rapat di Komisi IX DPR,” ujarnya, Senin (11/3).
Usulan Poempida lainnya terkait dengan status good corporate governance (GCG) yang disandang oleh sebuah perusahaan BUMN. Menurutnya, sebuah perusahaan BUMN, walau prestasi bisnisnya bagus, namun punya masalah ketenagakerjaan, maka tak layak menyandang gelar GCG.
Dengan begitu, Poempida berharap soal ketenagakerjaan diperhatikan secara serius oleh perusahaan BUMN. Bahkan, dia mengaku tak segan untuk mendesak Menteri BUMN memberhentikan direktur utama perusahaan BUMN yang tersangkut masalah ketenagakerjaan.
“Biar jajaran direksi di BUMN tidak sewenang-wenang terhadap pekerja,” kata Poempida.
Mengingat DPR akan melakukan pemanggilan paksa, Poempida mengatakan, paling lambat Kamis (14/3) Dahlan Iskan harus hadir ke DPR. Jika di hari itu Dahlan tak hadir, DPR lewat koordinasi dengan Kapolri akan langsung melakukan penjemputan paksa. Ketika proses penjemputan itu, Poempida mengimbau agar serikat pekerja melakukan pengawalan.
Pada kesempatan yang sama, advokat publik LBH Jakarta, Edi Gurning, menegaskan agar DPR tak ompong ketika nanti Dahlan hadir di DPR. Dia mengakui untuk kasus ini, DPR telah melakukan sebagian fungsinya sebagai lembaga negara yang melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
Misalnya, mengundang tiga kali Menteri BUMN untuk hadir ke DPR membahas masalah ketenagakerjaan. Sayangnya, sang Menteri tak pernah hadir. Padahal, upaya itu dilakukan DPR dalam rangka mengawasi berjalannya asas pemerintahan yang baik.
Edi mengingatkan, selain DPR, ada lembaga negara lain yang fungsinya melakukan pengawasan terhadap pemerintah, salah satunya Ombudsman yang fokus terhadap pelayanan publik. Sehingga, dapat diterbitkan rekomendasi untuk Menteri BUMN dalam rangka menyelesaikan masalah ketenagakerjaan.
Namun, untuk saat ini Edi menilai DPR harus memaksimalkan fungsinya sebagai lembaga wakil rakyat. Mengacu UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD, Edi mengatakan DPR dapat melakukan pemanggilan paksa serta menyandera menteri BUMN untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Edi berharap agar DPR mendesak Menteri BUMN untuk menerbitkan peraturan internal dalam rangka menjamin pemenuhan dan melindungi hak pekerja serta melakukan evaluasi terhadap direksi perusahaan BUMN yang tersangkut masalah ketenagakerjaan. Jika direksi yang bersangkutan melanggar hukum, harus dipecat. Edi menjelaskan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, Menteri BUMN punya kewenangan untuk melakukan langkah tersebut. 
“Kewenangan Menteri BUMN untuk mengintervensi perusahaan BUMN ada disitu (UU BUMN,-red), misalnya mengangkat atau memberhentikan direksi,” kata Edi.
Dukungan Serikat Pekerja
Sementara, sejumlah serikat pekerja di BUMN yang tergabung dalam Gerakan Bersama Pekerja/Buruh di BUMN (GEBER – BUMN) mendukung semua upaya yang dilakukan berbagai pihak untuk menuntaskan masalah ketenagakerjaan di BUMN. Koalisi itu terdiri dari KASBI, Aspek Indonesia, OPSI, SP PLN, SP IF dan FPM. Menurut Ketua Umum KASBI, Nining Elitos, tak sedikit perusahaan BUMN yang terganjal masalah ketenagakerjaan. Ironisnya, persoalan itu menyangkut hak dasar pekerja, misalnya upah dan kepastian kerja. 
Nining mencontohkan, salah satu serikat pekerja anggota KASBI di PT Pertamina, sudah puluhan tahun bekerja tapi statusnya masih outsourcing. Padahal, mengacu UU Ketenagakerjaan dan Permenakertrans Outsourcing, jenis pekerjaan yang di-outsourcing kontrak kerjanya tak boleh berulang kali.
Bahkan, saat ini KASBI memantau jenis pekerjaan yang di-outsourcing hampir di semua kegiatan kerja inti. Lagi-lagi Nining melihat aturan yang ada hanya membolehan jenis pekerjaan yang di-outsourcing itu di kegiatan penunjang. 
“Masalah ketenagakerjaan seperti ini sudah dilakukan secara sistematis di banyak BUMN, bukan hanya di Pertamina,” kata Nining.
Senada, Sekjen SP PLN, Rijanto Timbul, mengatakan akan mendukung upaya memanggil paksa Dahlan Iskan untuk hadir ke DPR untuk menuntaskan masalah ketenagakerjaan di BUMN. Dari sekian banyak persoalan ketenagakerjaan di PLN, salah satunya adalah menjalankan putusan PHI Jakarta yang membatalkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2010 – 2012. Lewat putusan itu, majelis memutuskan agar PLN menggunakan PKB sebelumnya.
Dalam PKB lama itu, ada ketentuan yang menyebut setiap kebijakan yang akan diterbitkan, harus melibatkan serikat pekerja. Sayangnya, Rijanto menilai hal itu tak dilakukan pihak manajemen. Ujungnya, hak perkerja kerap diabaikan misalnya terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mempensiunkan sebagian pekerjanya secara dini. Tak hanya itu, Rijanto juga melihat adanya indikasi pelanggaran peraturan ketenagakerjaan lainnya yang dilakukan manajemen. 
Misalnya, mempekerjakan pekerja outsourcing lewat tender. Akibatnya, perusahaan outsourcing yang menawarkan harga paling murah yang menang, sehingga kesejahteraan pekerja terabaikan. Apalagi Rijanto menilai jenis pekerjaan yang di-outsourcing masuk kategori kegiatan yang tak boleh di-outsourcing.
“Outsourcing sudah merambah ke jenis kegiatan inti seperti perawatan dan penambahan daya listrik, itu dikelola swasta,” pungkasnya.
sumber dari Hukumonline 


KAMIS, 23 PEBRUARI 2012
Pekerja Outsourcing Dipecat Setelah Berserikat

" Sebelum dipecat, hak-hak para pekerja tersebut dikurangi terlebih dulu."



Pemutusan hubungan kerja ‘berbau’ dugaan pemberangusan kegiatan berserikat kembali terjadi. Kali ini menimpa Edy Pramana dan keenam rekannya yang bekerja di PT Shandy Putra Makmur (SPM), perusahaan penyedia tenaga kerja sekuriti. Edy dkk dipecat pada Desember 2010 setelah mendirikan dan beraktifitas di Serikat Pekerja PT SPM (Sepaham).

Tak terima dengan pemecatan itu, Edy dkk menggugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Mereka menuntut dipekerjakan kembali dan upah yang belum dibayarkan selama proses perselisihan ini berlangsung.

Sengketa antara Edy dkk dengan pihak manajemen dimulai ketika Sepaham terbentuk pada tahun 2009 dimana Edy dkk menjadi pengurusnya. Lewat Sepaham, Edy dkk menuntut peningkatan kesejahteraan. Salah satunya soal status hubungan kerja. Mereka menuntut dijadikan sebagai pekerja tetap. Maklum, Edy c.s selama ini dipekerjakan sebagai pekerjaoutsourcing untuk posisi sekuriti. Sudah lima tahun mereka ditempatan di kantor PT Telkomsel di Jakarta.

Selama bekerja itu pula Edy dkk merasa dicurangi PT SPM. Contohnya adalah Edy dkk tidak pernah menerima uang penghargaan. Padahal Edy dkk tahu bahwa PT Telkomsel selalu memberikan uang penghargaan itu tiap tahun kepada PT SPM.

“Kita dapat informasi dari pihak PT Telkomsel kalau uang penghargaan itu diberikan untuk pekerja. Setelah ada desakan dari pekerja akhirnya mulai tahun 2008 uang itu diberikan,” aku Edy kepada hukumonline di PHI Jakarta, Rabu (22/2).

Tidak cuma itu. Edy dkk juga menanyakan kejelasan iuran Jamsostek, upah pokok di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta dan kekurangan hak atas upah lembur.

Banyak cara dilakukan Edy dkk untuk memperjuangkan haknya. Mulai dari berkirim surat mengajak berunding, aksi demonstrasi hingga melakukan mogok kerja pada pertengahan tahun 2010. Pasca aksi itu sejumlah anggota Sepaham malah dimutasi dan di-PHK.

Upaya mengadu ke sejumlah instansi seperti Komnas HAM dan Polda Metro Jaya sejauh ini belum membuahkan hasil positif.

Alih-alih menuntaskan persoalan yang ada, pihak manajemen malah menerbitkan surat mutasi kepada Edy dkk sekitar Agustus 2010. Pihak pekerja tentu saja menolak mutasi itu karena menganggap tidak ada dasar yang jelas dalam melakukan mutasi. Dan mensinyalir hal ini adalah bagian dari tindakan pemberangusan serikat pekerja. Atas dasar itu Edy dkk sempat tidak kembali ke lokasi kerja selama lebih dari sebulan.

Kuasa hukum pihak pekerja dari LBH Aspek Indonesia, Singgih D. Atmadja bertutur bahwa Edy dkk pernah menerima surat pemanggilan bekerja yang ketiga. Tapi saat kembali ke lokasi kerja pada Oktober 2010, pihak manajemen tidak membolehkan Edy dkk menginjakan kaki ke dalam kantor. Walau begitu pihak pekerja tetap melakukan tugasnya sebagai sekuriti menjaga kantor PT Telkomsel.

“Ketika memenuhi panggilan ketiga mereka nggak boleh masuk,” kata Singgih kepadahukumonline di PHI Jakarta, Rabu (22/2).

Melihat perkara yang tak kunjung tuntas akhirnya pihak PT Telkomsel memfasilitasi Edy dkk dan pihak manajemen PT SPM untuk melakukan perundingan. Hasil kesepakatan dalam perundingan itu dituangkan ke dalam notulensi perundingan tertanggal 27 Oktober 2010.

Kala itu pihak manajemen PT SPM secara lisan berjanji akan membuat jadwal kerja untuk Edy dkk. Tapi pihak pekerja merasa itu adalah janji palsu, sebab Edy dkk tidak melihat pihak manajemen menepati janjinya itu. Malah pada Desember 2010 pihak manajemen memutus hubungan kerja Edy dkk.

Terpisah, kuasa hukum pihak manajemen Sofyan Thamrin menyebut Edy dkk telah mangkir dari pekerjaannya sehingga dikualifikasikan mengundurkan diri. Padahal, pihak manajemen telah melakukan beberapa pemanggilan tapi hal itu tidak diindahkan, lanjutnya. Atas dasar itu pihak manajemen tidak memberi kompensasi pesangon kepada pekerja.

“Mereka tidak masuk kerja selama tiga bulan, mangkir. Kami kualifikasikan mengundurkan diri,” kata dia singkat kepada hukumonline usai sidang di PHI Jakarta, Rabu (22/2).
Sumber Hukumonline

Popular posts from this blog

Kyai As'ad, Pahlawan dan NU

Kemenangan HOSTUM, Kemenangan kaum Buruh!

Penetapan UMP 2012, Masih Tarik Ulur*